Ustad saya mengutip sebuah kalimat dalam kitab Kimiatussa'adah yang dikarang oleh Imam Ghazali. Dalam buku tersebut Imam Ghazali menerangkan bahwa "Orang yang fakir adalah serbet bagi orang yang kaya". Apabila pernyataan ini kita persoalkan; siapakah yang paling membutuhkan, orang fakirkah atau orang kaya?
Mungkin kedudukan serbet tidak lebih tinggi bila dibandingkan dengan piring atau sendok. Dan jauh lebih rendah dibandingkan mebler rumah tangga, barang-barang pajangan dan kendaraan. Tetapi serbet menjadi sangat dibutuhkan untuk membersihkan barang-barang tersebut. Betapapun mahalnya harga mebler, pajangan dan kendaraan akan menjadi sangat kotor apabila tidak pernah diserbet.
Jadi secara duniawi, orang fakir yang diibaratkan serbet dan orang kaya itu saling membutuhkan. Untuk menafkahi keluarganya orang fakir wajib berusaha/bekerja kepada orang-orang yang mampu membayar hasil keringatnya (orang kaya). Begitu pula tidak akan ada orang kaya jika tidak dibantu oleh orang-orang fakir untuk menambah kekayaannya.
Tetapi secara ukhrowi menjadi lain persoalannya. Tuntutan Allah SWT kepada orang fakir hanya cukup mewajibkannya berupaya sekedar untuk dimakan. Apabila orang fakir tersebut masih belum mampu mencukupi kebutuhan keluarganya untuk makan hari itu, dia sudah mendapatkan satu nilai kebaikan. Tinggal bagaimana caranya bersabar dan tawakal.
Berbeda dengan Tuntutan Allah kepada orang kaya. Di samping orang kaya itu berkewajiban untuk menafkahi keluarganya, dia juga harus membersihkan hasil kerjanya. Dan cara untuk membersihkan hartanya , dia harus menyantuni orang-orang fakir. Jika tidak! Ancaman Allah SWT. sangat jelas dalam Al Qur'an. Ingat! Bahwa sebagian hartamu adalah milik fakir miskin. Bukan cuma sabar dan tawakal tuntutan bagi orang kaya, tetapi kemampuan mengakui dengan ikhlas bahwa harta yang dimilikinya bukanlah harta miliknya sendiri.
Kalau begitu, siapa yang paling membutuhkan; orang fakirkah, atau orang kaya? Tidak akan ada orang-orang fakir yang berkeliaran meminta-minta, dan dianggap rendah sebagai manusia pemalas, jika orang-orang kaya mau membersihkan hartanya dari siksa api neraka. Begitulah cara Islam mengajari sosialisme.
Mungkin kedudukan serbet tidak lebih tinggi bila dibandingkan dengan piring atau sendok. Dan jauh lebih rendah dibandingkan mebler rumah tangga, barang-barang pajangan dan kendaraan. Tetapi serbet menjadi sangat dibutuhkan untuk membersihkan barang-barang tersebut. Betapapun mahalnya harga mebler, pajangan dan kendaraan akan menjadi sangat kotor apabila tidak pernah diserbet.
Jadi secara duniawi, orang fakir yang diibaratkan serbet dan orang kaya itu saling membutuhkan. Untuk menafkahi keluarganya orang fakir wajib berusaha/bekerja kepada orang-orang yang mampu membayar hasil keringatnya (orang kaya). Begitu pula tidak akan ada orang kaya jika tidak dibantu oleh orang-orang fakir untuk menambah kekayaannya.
Tetapi secara ukhrowi menjadi lain persoalannya. Tuntutan Allah SWT kepada orang fakir hanya cukup mewajibkannya berupaya sekedar untuk dimakan. Apabila orang fakir tersebut masih belum mampu mencukupi kebutuhan keluarganya untuk makan hari itu, dia sudah mendapatkan satu nilai kebaikan. Tinggal bagaimana caranya bersabar dan tawakal.
Berbeda dengan Tuntutan Allah kepada orang kaya. Di samping orang kaya itu berkewajiban untuk menafkahi keluarganya, dia juga harus membersihkan hasil kerjanya. Dan cara untuk membersihkan hartanya , dia harus menyantuni orang-orang fakir. Jika tidak! Ancaman Allah SWT. sangat jelas dalam Al Qur'an. Ingat! Bahwa sebagian hartamu adalah milik fakir miskin. Bukan cuma sabar dan tawakal tuntutan bagi orang kaya, tetapi kemampuan mengakui dengan ikhlas bahwa harta yang dimilikinya bukanlah harta miliknya sendiri.
Kalau begitu, siapa yang paling membutuhkan; orang fakirkah, atau orang kaya? Tidak akan ada orang-orang fakir yang berkeliaran meminta-minta, dan dianggap rendah sebagai manusia pemalas, jika orang-orang kaya mau membersihkan hartanya dari siksa api neraka. Begitulah cara Islam mengajari sosialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar