Santri yang di sekolahkan di universitas yang ada di Amerika itu pada akhirnya pulang. Para dosen islamologi di sana tidak mampu menjawab 3 pertanyaan yang dia ajukan. Dia sendiri semakin gelisah saja dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang terus mengganggu hati dan logikanya.
Ibunya sangat kaget. Anak yang dulu saleh itu telah meninggalkan shalat. Dan beberapa saudara menyalahkannya sekolah di Amerika. Para tetangga menganggapnya sudah kebelinger.
"Nak, coba kamu kembali menemui Pak Kiai", bujuk ibunya.
"Kiai kampung ...pikirnya, guru besar di Amerika saja tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku", pikirnya. Tapi tak ada salahnya. Dia sudah bisa membayangkan Pak Kiai akan menjadi bahan olok-olok para santrinya. Maka dengan perasaan takabur, dia pun berangkat menemui Pak Kiai yang membimbingnya sejak dia tamat sekolah ibtidaiyah.
Kepada teman-teman dan santri-santri juniornya, dia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hingga pada akhirnya kabar itu sampai ke telinga kiai.
"Katanta kamu punya pertanyaan yang sulit dijawab?" tanya Pak Kiai.
"Benar, Pak Kiai", jawabnya.
"Coba sebutkan pertanyaan-pertanyaanmu itu".
"Seperti apa takdir itu, kita hanya tahu pengertiannya saja?"
"Kedua ...", lanjut Pak Kiai.
"Bagaimana cara membuktikan bahwa Allah itu ada?"
"Ketiga ...".
"Katannya neraka adalah api yang menyala-nyala. Tapi mengapa setan dan iblis diciptakan dari api? Kalau begitu kan akan mengenakkan setan, Pak Kiai?"
Tanpa disangka-sangka si santri, Pak Kiai memukul pelipisnya, hingga santri itu pun pingsan. Santri-santri yang menyaksikan peristiwa itu terkejut. "Tidurkan dia. Dan besok pagi semua kumpul! Hadapkan kembali, santri ini kepadaku." Perintah Pak Kiai kepada santri-santrinya yang sedari tadi melongo.
Keesokan harinya para santri sudah berkumpul. Santri yang ditonjok pun sudah berhadap-hadapan dengan Pak Kiai.
"Kamu sudah tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu, setelah pingsan?"tanya Pak Kiai.
"Belum", jawab santri itu.
"Kamu tahu bahwa saya akan memukulmu atas pertanyaan-pertanyaanmu?"
"Tidak".
"Saya juga tidak tahu, tiba-tiba saya harus menjawab dengan pukulan. Itulah yang disebut takdir", jawab Pak Kiai.
"Waktu saya pukul, apakah kamu merasa sakit?" lanjut Pak Kiai.
"Betul. Sampai saya pingsan", jawab santri itu.
"Apakah kamu bisa melihat rasa sakit?"
"Tidak".
"Begitu pula dengan Allah. Kehadiran Allah hanya bisa dirasakan, bukan dilihat atau dibentuk-bentuk dalam imajinasi", jawab Pak Kiai.
"Pelipismu tulang dibungkus kulit, bukan?" tanya Pak Kiai.
"Benar", jawab santri itu makin menunduk.
"Tangan saya juga begitu. Tulang yang dilapisi kulit", lanjut Pak Kiai menyelesaikan jawabannya.
Pertanyaan dan jawaban no 3 saya belum mengerti mas hehe maklum gak cukup ilmu....
BalasHapusSalam kenal dari jember selatan
Mas Coro; ini hanya guyonan yang mencoba dilogikakan. Tulang dibungkus kulit bertemu dengan tulang dibungkus kulit, jika dibenturkan akan sakit juga. Begitu pula dengan api. Kita tidak tahu, apakah api kecil jika bertemu dengan api besar, merasa sakit? Mungkin juga begitu, karena tidak tidak pernah merasakan sakitnya si api kecil. Kita tidak diberikemampuan untuk merasakan itu. Wallahu'alam.
BalasHapus